Background

Beternak Nyamuk untuk Mengendalikan DBD

Beternak Nyamuk untuk Mengendalikan DBD



Metrotvnews.com, Jakarta: Jika telur nyamuk yang mengapung di atas air bening itu pecah, keluarlah larva-larva nyamuk Aedes aegypti. Segera jentik akan mengubah diri menjadi berbentuk pupa (kepompong) bersiap ke fase berikutnya menjadi bayi nyamuk yang belajar terbang.

Sebelum pupa-pupa itu sobek dan nyamuk keluar, mereka harus langsung disaring dengan saringan tepung. Pupa jantan karena ukurannya lebih kecil lolos dan jatuh ke wadah di bawahnya. Sedangkan yang betina, tetap berada di saringan dan dipisahkan untuk dikembangbiakkan lagi.

Begitulah aktivitas Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Ali Rahayu. Ia selalu sibuk beternak nyamuk kemudian memindahkan ke kandang masing-masing yang terbuat dari aluminium dilapisi kasa buatannya sendiri.

Di dalam kandang, nyamuk jantan dimasukkan makanan berupa albumin putih telur dan sukrosa (gula). Sedangkan di kandang nyamuk betina dimasukkan darah sapi dalam kulit sosis atau marmut hidup. Nyamuk betina peminum darah sebagai penumbuh telur-telurnya.

Di kandang berisi 25 nyamuk betina, para jantan juga dimasukkan untuk kawin dengan mereka. Nyamuk betina itu masing-masing bertelur sedikitnya 100 butir. Dalam dua pekan saja, ada sedikitnya 2.500 nyamuk.

Dua pekan berikutnya jumlahnya semakin berlipat-lipat. Untuk kandang kecil ukuran 30cm x 30cm isinya bisa 1.000 ekor nyamuk. Sedangkan yang terbesar 80cm x 100cm isinya bisa 10.000-20.000 nyamuk, tampak sangat menyeramkan.

Pupa-pupa yang didapat pun kembali disaring, dipisahkan antara yang jantan dan betina, kembali diternakkan. Berbeda dengan kandang betina, para pejantan yang sedang tumbuh, sesuai kebutuhan lapangan dimasukkan ke botol-botol plastik untuk diiradiasi dengan sinar gamma dari unsur Cobalt sebesar 70 Gy.

Ratusan botol yang setiap botolnya berisi sekitar 50-100 nyamuk dibariskan dalam sekali penyinaran. Hasilnya adalah nyamuk-nyamuk jantan yang mandul dan siap didistribusikan ke lapangan. Puluhan nyamuk jantan mandul itu kemudian disebar di sejumlah rumah penduduk yang sebelumnya memiliki kasus Demam Berdarah Dengue (DBD). Untuk riset awal dipilih sementara tiga wilayah, yakni Salatiga, Banjarnegara dan Bangka Barat.

Tiga wilayah endemis DBD tersebut sebelumnya sudah diteliti memiliki populasi nyamuk aedes aegypti antara 4 sampai enam ekor per rumah. Dengan demikian, nyamuk jantan mandul yang disebar di setiap rumah haruslah sembilan kali dari jumlah nyamuk di lapangan.

"Kalau populasi nyamuk di suatu rumah adalah lima ekor, maka di rumah itu akan disebar nyamuk mandul sembilan kalinya, yakni 45 nyamuk. Ini dilakukan agar para pejantan mandul mampu bersaing dengan nyamuk jantan perkasa di lapangan," kata Ali Rahayu.

Dengan Teknik Serangga Mandul (TSM) ini, ujarnya, ratusan telur yang dikeluarkan para nyamuk betina tidak dapat menetas menjadi larva nyamuk. Efek berkurangnya jumlah nyamuk secara signifikan terasa setelah sebulan pelepasan nyamuk mandul.

Jika beberapa generasi berturut-turut dilepaskan nyamuk jantan mandul dengan patokan dalam setahun dua kali pelepasan, maka populasi nyamuk di lokasi tersebut akan terus menurun sampai angka nol. Ali Rahayu mengatakan, kemampuan TSM menekan populasi nyamuk (sterilitas) cukup tinggi, di Salatiga rata-rata sampai 84,62%, di Banjarnegara 79,58% dan di Bangka Barat sampai 53,03%.

"TSM juga lebih ramah lingkungan dibanding fogging (pengasapan) yang bersifat toksik bagi lingkungan. Ditambah lagi fogging yang terlalu sering makin membuat nyamuk menjadi resisten alias kebal," katanya.

Sri Wulan Subowo, warga RT 06 RW o3 kelurahan Sidorejolor, Kota Salatiga, mengungkapkan, setahun yang lalu sebelum dilakukan TSM, ada tiga kasus DBD di wilayahnya. Namun kemudian sejak dilakukan TSM pada Februari-Maret 2012, jumlah nyamuk menurun drastis.

"Kemarin ketika kami memeriksa jentik ke rumah-rumah warga, tak ada lagi jentik nyamuknya," kata kader kesehatan pemeriksa jentik itu.

Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan Winarno, menyambut baik Teknik Serangga Mandul yang diperkenalkan Ali Rahayu tersebut dan bersedia memfasilitasi risetnya. "Teknik ini layak menjadi suatu metode pemberantasan nyamuk DBD, berhubung banyak wilayah di Indonesia yang nyamuknya sudah semakin resisten terhadap metode fogging," katanya.

Ditanya apakah TSM ini bisa dijadikan gerakan nasional pemberantasan DBD, Winarno mengatakan, soal itu masih perlu dikaji lebih lanjut seperti bagaimana kelanjutan hasilnya dalam jangka waktu yang lebih lama dan di wilayah yang lebih luas lagi.

"Perlu diuji coba ke lokasi-lokasi lainnya juga, apakah keberhasilannya menurun ketika berkompetisi di lapangan yang lebih menyebar lagi, lalu bagaimana kesiapan masyarakat terhadap TSM ini, dalam hal ini pemda-lah yang memutuskan apakah bersedia menggunakan teknik ini," katanya.

Ia juga masih meragukan bagaimana teknik ini bisa digunakan lebih massal lagi terkait keterbatasan sarana seperti peralatan iradiasi yang hanya dimiliki Batan dan instansi tertentu, atau masalah siapa yang akan menyediakan nyamuk untuk dimandulkan.

"Perlu ada cara untuk membuat ini menjadi teknik yang bisa dilakukan secara massal, misalnya membuat lab mobile," katanya sambil mengatakan bahwa meski teknik ini bisa mengurangi populasi nyamuk tapi dalam hal penurunan kasus DBD masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Namun Ali Rahayu tetap merasa optimistis bahwa TSM bisa menjadi suatu terobosan dalam mengendalikan penyakit mematikan DBD.

TSM telah berhasil digunakan di berbagai negara untuk mengendalikan hama tertentu sampai musnah, kata Ali yang awalnya telah berhasil mengembangkan TSM untuk mengendalikan hama lalat buah (Bactrocera carambolae) sebelum mencobanya ke nyamuk.(Ant/BEY)

Categories: Share

Leave a Reply